Semakin hari, isu mengenai mental illness atau kesehatan mental semakin berhembus kencang. Masyarakat secara perlahan mulai menyadari pentingnya menjaga kesehatan mental. Informasi mengenai isu ini juga sering kita temui berseliweran di media sosial. Namun, hal ini bak pedang bermata dua. Sisi positifnya adalah, tingkat awareness masyarakat pada kesehatan mental semakin tinggi, tetapi sisi negatifnya adalah seseorang jadi bisa mengaku-ngaku mengidap gangguan mental dan mengglorifikasikannya. Hal tersebut juga disampaikan oleh Angeline Novena Tricia dan Christabela Eudia Lestantun, mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha, pemenang lomba poster bertemakan “Romanticization of Mental Instability on Social Media”
Angeline mengatakan bahwa TikTok saat ini menjadi salah satu platform yang paling banyak diakses, dan di sana juga banyak video-video tentang romantisisasi penyakit mental. Masyarakat lebih mempercayai konten berisikan ‘self-diagnose’ dengan sumber data yang belum jelas ketimbang membaca artikel ilmiah.
“Karena mudahnya mengakses teknologi, informasi tentang gangguan mental jadi sangat mudah didapatkan dan disebarkan. Hal ini memang baik karena dapat meningkatkan awareness, tetapi di sisi lain informasi tersebut belum sepenuhnya benar dan beberapa konten bisa berdampak buruk, lalu memunculkan fenomena romantisisasi ini,” ujar Christabela.
Definisi Romantisisasi
Menurut Cambridge Dictionary, arti romantisisasi atau romanticize adalah “to Dengan kata lain, romantisisasi adalah ketika seseorang menganggap sesuatu itu lebih baik daripada yang sebenarnya. Saat ini, banyak orang yang “;mengagung-agungkan” penyakit mental di media sosial dan merasa senang memiliki penyakit tersebut, bahkan menjadi sebuah tren. Ketika sedang asyik scrolling media sosial, tidak sedikit kita menemukan seseorang yang mengaku mengidap depresi, anxiety disorder, bipolar, obsessive compulsive disorder (OCD), dan masih banyak lagi. Mereka yang mengaku mengidap memiliki penyakit ini seolah ingin meraup perhatian dan lebih “stand out” dari orang lain. Gangguan kesehatan mental kini dianggap menjadi sebuah tren dan kekinian, serta menjadi sesuatu hal yang ingin dimiliki. Seseorang akan dengan mudah melabeli dirinya sebagai penderita hanya berdasarkan satu dua gejala yang ia rasakan.
Dampak
Beberapa waktu lalu, sempat viral seorang TikToker yang mengaku mengidap sindrom Tourette, sebuah gangguan ketika para penderitanya melakukan tic atau gerakan maupun ucapan berulang di luar kendali. Ia berpura-pura mengidap gangguan tersebut dan menjadikannya konten, serta mendapatkan banyak viewer dari video-video yang ia buat. Namun, tentu netizen pun berhasil menemukan banyak kejanggalan dan akhirnya mengetahui bahwa TikToker tersebut hanya berpura-pura demi mendapatkan atensi. Hal ini tentu berdampak pada seseorang yang benar-benar mengidap gangguan tersebut. Ketika ia hendak berbagi kisahnya di media sosial, masyarakat kini sudah tidak bisa membedakan mana pengidap yang asli dan tidak. Alhasil, ia akan sama-sama dicap sebagai pembohong.
Fenomena romantisisasi kesehatan mental akan berdampak buruk pada seseorang yang benar-benar sedang berjuang untuk sembuh. Mereka akan kesulitan untuk bercerita pada orang lain dan membuka diri karena takut akan dianggap hanya mencari perhatian.
Ciri-Ciri
Seseorang yang me-romantisisasi kesehatan mental biasanya akan dengan mudah menjustifikasi perasaan negatifnya sebagai gangguan mental. Ketika seseorang menghadapi kecemasan atau overthinking, ia bisa dengan cepat mengecap bahwa dirinya mengidap anxiety disorder atau ketika seseorang mengalami mood swing, ia akan melabeli dirinya mengidap bipolar. Nyatanya, gangguan mental tidak semudah itu didiagnosa, perlu dilakukan beberapa pemeriksaan. Kemudian, ciri-ciri kedua adalah mereka kerap menjadikan gangguan mental sebagai hal yang estetik. Memposting foto estetik disertai dengan caption tentang agresi akan dianggap kekinian dan akan ditiru oleh orang-orang yang melihatnya. Ciri-ciri yang terakhir adalah, mereka yang mengaku mengidap gangguan mental akan menolak apabila diberi nasihat untuk melakukan pengobatan pada ahlinya. Seseorang yang benar-benar mengidap gangguan mental harus diberi penanganan oleh seorang psikolog atau psikiater, bukannya mengunggah konten hanya untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain.
Self-awareness atau memahami diri sendiri itu sangat baik agar kita terhindar dari gangguan mental. Apabila kita merasa ada yang tidak beres dengan diri sendiri, alangkah baiknya jika kita bertanya kepada ahlinya. Berhenti mendiagnosis diri sendiri hanya karena satu-dua gejala yang kita rasakan atau hanya berdasarkan artikel yang kita baca di internet. Romantisisasi kesehatan mental di sosial media harus segera dihentikan agar kita bisa tahu, mana yang benar-benar mengidap dan butuh pertolongan. Tidak wajar juga bagi kita menganggap bahwa suatu gangguan yang bisa membahayakan nyawa sebagai sesuatu yang keren dan patut ditiru. (vir/gn)